Saya adalah seorang (mantan) guru

"Wemi, 17 + 5 berapa?" Pertanyaan ini saya ajukan kepada seorang siswa kelas V di suatu sekolah dasar di Kabupaten Tolikara, Papua. Wemi menggambar 17 garis-garis kecil dan 5 garis-garis kecil. Kemudian dia menghitung banyaknya garis itu satu per satu hingga dia dapatkan hasil 22.

Wemi termasuk salah satu anak yang cukup baik. Anak yang lain bahkan tidak bisa menghitung penjumlahan sama sekali, apalagi perkalian dan pembagian.

Saya sempat bertanya kepada kepala sekolah, kenapa anak-anak bisa jadi seperti ini? Kepala sekolah menjawab, "Kualitas guru di sini sangat rendah dan muridnya memang tidak berbakat matematika."

"Lalu apa kriteria anak ini naik kelas?" tanya saya lebih lanjut. "Tidak ada! Semua anak dinaikkan. Kalau tidak naik kelas, orang tua akan datang bawa parang dan tombak," lanjutnya. Orang tua di sana merindukan anak-anaknya pintar. Itu sebabnya, mereka menyuruh anaknya bersekolah. Jika anak mereka tidak lulus, mereka anggap sekolah tidak mengajar dengan baik. Wajar saja kalau mereka menuntut kenaikan kelas dengan parang dan tombak.

9 komentar:

BilikTehan mengatakan...

Mereka ingin anak2nya bersekolah, itu awal yang bagus. Mereka sudah sadar akan pentingnya pendidikan. Yang diperlukan cara berkomunikasi dengan mereka, jadi biar ada kerja sama dengan orang tua jg dalam mendidik anak. Tapi sepertinya butuh proses lama y mas?
Kenapa mas arema tidak jadi guru lagi?

Arema mengatakan...

BilikTehan, saya malu mengakui ini, tapi saya tergiur dengan imbalan uang yang lebih besar yang dijanjikan oleh industri telekomunikasi. Jadilah saya engineer telco. Namun saya melihat lagi peluang lebih besar di IT, saya pun pindah lagi. Saya memang manusia tidak setia.

Tapi ada imbalan yang besar yang saya dapatkan semasa menjadi guru. Senyum anak-anak itu. Persahabatan mereka yang tulus. Dan apresiasi saya terhadap orang tua saya. Saya jadi ngerti gimana susahnya handle anak kecil, dan saya jadi kagum dengan orang tua saya yang bertahan handle saya yang luar biasa sulit diatur dan keras kepala :)

Tante Gadis mengatakan...

hebring euy arema.

Zhou Yu mengatakan...

Aku setuju, imbalan paling besar dari menjadi guru adalah senyum dan keberhasilan murid-murid itu. Ketika mereka melaporkan keberhasilan mereka atau kebangkitan mereka dari masalah dan berterima kasih, itu saat-saat yang paling berharga, ga bisa dinilai dengan uang. Itu makanya gw tetep bertahan jadi guru dengan gaji yang kecil.....

gerandis mengatakan...

hikz...aq malu, aq blon bisa kasih bantuan apa2 buat papua...kadang miriz juga ngliat kondisi masayarakat papua, terlalu jauh gap pendidikan dengan jawa...
salut buat org2 yg terus berkecimpung di dunia pendidikan!!

Natta mengatakan...

garis bawahi.
Anak Indonesia sebenernya cerdas dan rajin belajar.

-pengen motong lidah bule2 yang ngejelek-jelekin-

Re_Notxa mengatakan...

Pernah di Papua, maz?
Ouwlala... iya iya, mulianya kaw, bang.
Ada beberapa (ato mungkin banyak) daerah pedalaman dan modern yg juga masih prihatin kondisinya, apalagi pendidikan. Saya sempat di tawarai jadi relawan di ciganjur untuk ajari anak-anak jalanan di sebuah taman baca. Atau lihat info tentang pembelajaran salah satu suku di Sulteng dengan metode Han Geul (huruf korea). Ato banyak lagi. Ini yg buat saya pingin terjun langsung ke masalah sosial di daerah terpencil. Saking cintanya sama Indonesia.

BilikTehan mengatakan...

@Arema: Gak usah malu mas arema. Itu wajar kok, kita pasti pengen sesuatu yang lebih baik. Apalagi itu sesuai minat kita :) Kesetiaan bukan diukur dari kuantitas, tapi kualitas. Jadi banyak cara yang bisa dilakukan biar bisa tetap bersentuhan dengan dunia pendidikan, biar pun gak terlibat langsung. Mungkin bisa dengan sumbangan dana, jadi orang tua asuh, atau kantor tempat mas arema kerja mengadakan pelatihan buat guru. Masih banyak guru yg gaptek, jadi suka kalah saing informasi ama murid2nya ^^ Inspiring lah postingannya selalu :)

Okit Jr mengatakan...

eh..
pernah lho.. pas perpisahan dulu..
gw nyanyi --apa ya judulnya, gw lupa-

yang liriknya...

"terima kasih ku, ku ucapkan... pada guruku yang tulus...
kan kuingat selalu... nasehat guruku...
terima kasihku untukmu..."

tapi pas itu sambil mewek.. (auranya gak bagus.. melow melow gitu)
gurunya terisak..
yang lain memohon mohon histeris biar gw berhenti nyanyi..
--sigh...

waktu itu fals banget si... --blushing..

guru.. oh.. guru,..
riwayatmu dulu...
history-mu kini...

Btw, Eng...
kok.. banyak postingan yang dihapus ya...??
apa salah browser gw kayaknya...

Posting Komentar